Kamis, 14 Februari 2013

"Like a Love That Growth in the Snow" cerita dari Rani Pradnya Swari

Kata Penghantar

Annyong! Chonun Rani imnida. Mau mempersembahkan novel pertama saya. Gomawo readers sudah mau baca. Mianhe ne kalau belum sesuai keinginan readers.
Puji dan syukur saya Panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan novel pertama ini yang diberikan judul “Like a Love That Growth in the Snow”. Terima kasih juga kepada Umma saya yang sudah membantu dalam pengerjaan novel ini.
Novel ini dipersembahkan penulis untuk para remaja pecinta novel di Tanah Air. Novel ini menggunakan tokoh karangan penulis yang asal tokohnya dari Korea menyesuaikan dengan trend remaja masa kini. Dengan sedikit sentuhan romantisme yang diharapkan sesuai dengan kepribadian kaum remaja Indonesia.
Baiklah selamat membaca novel pertama dari penulis. Semoga bisa memberikan sebuah kesenangan tersendiri bagi para pembaca novel saya ini. Gomawo ^^ khamsahamnida

Rani Pradnya Swari










Prolog
“Yak!! Kau anak tak tau diri! Aku yang telah memungutmu, tapi kau tidak sedikit pun membalas kebaikanku! Sekarang pergi kau dari rumahku!” Bentak seorang wanita tua kepada gadis di hadapannya. Dengan air mata yang menggenang dan siap untuk meluncur kepipi putih nan mulus itu, si gadis melangkahkan kakinya keluar.
“Aku harus kuat! Aku tak boleh menangis hanya karena hal seperti ini!” Gadis itu mencoba tegar dengan suara bergetar. Belum seberapa jauh kaki kecil si gadis itu melangkah, badannya terhuyung, gadis mungil itu pingsan. Beberapa orang yang lewat langsung mengerubuninya, “Hei! Siapa anak ini?” “Tidak tahu, kasian sekali dia pingsan di jalan.” “Cepat telepon ambulan!” Perintah salah seorang warga. Tak berselang lama, Ambulan pun datang.

















Chapter I : Penyakit Itu Mulai Muncul
Aku mengerjapkan mataku berulang kali sampai mata ini bisa bersesuai dengan ruangan di sekitarku. ‘Ini pasti rumah sakit’ Batinku. Tak berselang lama seorang suster masuk dan tersenyum padaku, “Selamat pagi. Kau sudah siuman? Syukurlah.” Katanya sembari mendekatiku. Aku terdiam menatapnya, dan dengan segera kududukkan badanku. “Wahh.. Kau sudah bisa duduk? Ini kemajuan pesat.” Katanya ramah dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Aku tetap terdiam tanpa memberi respon. “Aku akan memanggilkan dokter untukmu. Kau tunggulah disini beberapa saat!” Perintahnya, dan kemudian Ia telah hilang ditelan pintu itu.
Aku melihat keluar jendela, tetapi suara pintu yang perlahan terbuka membuatku menoleh ke pintu. Aku melihat suster itu berjalan di belakang Dokter yang membawa alat-alat untuk memeriksa keadaanku. “Mianhe, tapi aku harus memeriksa keadaanmu.” Kata dokter yang kutaksir usianya sekitar 40-50 tahun itu. Kemudian dokter itu bertanya “Siapa namamu?” “Yoora.. Kim Yoora.” Aku mengatakannya singkat. Dokter itu tersenyum dan menyuruh suster untuk mencatat namaku. “Baiklah Yoora, cukup pemeriksaannya untuk hari ini.” Kata dokter itu lalu pergi bersama suster itu.
Aku melihat ke luar jendela lagi, ‘Sebenarnya apa ya penyakitku? Ahh Yoora pabo! Kau lupa menanyakan hal penting itu.’ Omelku dalam hati. Setelah beberapa menit melihat keluar jendela, kuputuskan untuk beristirahat sejenak.
“Tok.. tok.. tok..”
Aku membuka mataku perlahan, menoleh kearah pintu dan menemukan sosok dengan jubah putih dan Stetoskop melingkar di lehernya. Ya, dia dokter yang memeriksaku. “Apa penyakitku?” Aku langsung bertanya setelah melihat dokter itu mulai menyuntikkan obat pada infusku. Dia melihat ke arahku dan menjawabnya dengan senyum kecut, “Kau tidak apa-apa. Hanya perlu istirhat sebentar.” Aku yakin dia berbohong, “Nan gwenchana, katakan saja penyakitku.” Kataku datar. Ia menghela nafas panjang sebelum mengatakan penyakitku, “Magh kronis.” Jawab dokter singkat. Aku sebenarnya terkejut, sangat terkejut dengan penyakit yang kuderita ini, “Ohh…” Jawabku singkat pada Dokter. Aku yakin Dokter itu mengetahui perasaanku sekarang ini, biarpun aku tidak menunjukkannya. Aku memalingkan kepalaku kearah jendela dan menghirup nafas panjang untuk menghentikan semua emosiku.
Setelah dokter itu keluar, aku merenungi nasibku. ‘Ibu, Ayah.. Apakah kalian tidak tega melihatku hidup menderita di dunia ini? Kalian ingin mengajakku pergi bersama kalian. Terima kasih ibu, ayah.’ 
Aku kembali melihat kearah luar jendela. Disana butiran salju mulai turun membanjiri bumi. Aku terus menatap salju itu yang perlahan-lahan meleleh, sampai terdengar seseorang membuka kamarku sembari membawa nampan yang berisi makanan. “Annyong. Bagaimana kabarmu? Aku membawakan makanan untukmu.” Kata suster itu tetap dengan senyum manisnya. ‘Untuk apa dia membawakanku makanan? Padahal aku akan mati!’ Pikirku menatap sinis makanan ini. “Selamat makan.” Kata suster itu sambil berjalan meninggalkan ruanganku. Aku menatap makanan itu tanpa menyentuhnya sedikitpun. Akhirnya aku memilih tidur untuk menenangkan diri.
Esoknya aku terbangun sambil meringgis kecil memegangi lambungku yang tak terisi sejak kemarin. Aku mencoba mengendalikan rasa sakit itu, dan ketika itu juga dokter beserta suster itu datang dan membawa beberapa peralatan kedokterannya. Syukurnya aku sudah bisa mengendalikan rasa sakit itu.aku menatap mereka dengan wajah dingin, membiarkan mereka memeriksaku. ‘Percuma saja’ batinku sinis, ‘Aku akan mati! Siapa lagi yang bisa menghentikan kematianku?’ hanya kalimat-kalimat seperti itu yang terlintas di pikiranku.
Dokter itu melihat nampanku yang masih tertata rapi lngkap dengan makanan yang tadi dibawakan oleh suster itu. “Kenapa kau tidak memakannya?” Tanya Dokter itu lembut. “Aku akan mati! Jadi kau tak perlu membawakannya lagi!” Kataku tajam dengan suara yang dingin. Dokter dan suster itu hanya geleng-geleng kepala. “Aku akan menyiapkan makan baru untukmu, Yoora.” Kata suster itu ramah sembari meninggalkan kamarku. Dokter itu menepuk pundakku dan berkata “Masih ada harapan untukmu Kim Yoora. Gunakan kesempatan itu dengan sebaik mungkin.” Aku sama sekali tidak mendapat kekuatan dari kata-kata itu. ‘Semua dokter sama saja!’ Batinku. Lalu Dokter itu pun keluar dari kamarku.

hdyjs.jpg






Chapter II : Aku, Dokter, dan Salju
5 hari sudah aku berada di rumah sakit, dan selama itu pula aku tidak menyentuh makanan yang dibawakan suster kepadaku. Perih sekali rasanya lambungku ini, tapi itulah caraku untuk mempercepat kematianku.
Suster itu kembali lagi dengan membawa jarum suntik dan sebotol cairan yang akan dimasukkan ke dalam tubuhku lewat jarum suntik itu. “Kau benar-benar tidak makan? Ini sudah 5 hari, dan kau hanya makan sebuah apel!” Kata suster itu kaget, “Ingat kau menderita Magh! Tidak baik membiarkan perutmu kosong.” Lanjutnya lagi. Aku menatap dingin kearah suster itu, lalu mengalihkan pandanganku keluar jendela. Aku mendengar suster itu menghela nafas panjang.
“Baiklah sudah selesai.” Kata suster itu merapikan alat-alatnya. Ia bersiap pergi, tapi suster itu berbalik sebentar, “Mulai sekarang kau akan dirawat oleh Dokter pribadimu. Namanya Dokter Kim Hae Joong. Usia kalian cukup dekat, jadi aku berharap hubungan kalian juga bisa lebih dekat.” Kata suster itu sambil tersenyum penuh arti, “Dia juga sangat tampan. Kuharap kau menyukainya.” Lanjutnya lagi. Aku hanya menatapnya dingin tanpa memberikan respon yang menyatakan aku tertarik pada dokter itu.
‘Siapa pun dokternya tak akan pernah membawaku berjalan selain kearah kematian.’ Pikirku sambil tersenyum sinis membayangkan usaha apa saja yang akan dilakukan dokter itu yang pasti tak jauh berbeda dengan dokter sebelumnya.
Pintu yang perlahan-lahan terbuka, tidak membuatku ingin mengetahui siapa yang masuk ke ruanganku. ‘Pasti Suster itu lagi! Ngapain sih sering banget jengukin aku!’ Batinku yang sedikit terusik oleh kedatangan suster itu yang selalu memberikan motivasi hidup padaku yang menurutku itu percuma.
“Annyong.. Kaukah pasien baruku itu?” Tanya seseorang yang belum pernah kudengar suaranya itu. Dengan cepat aku menoleh, dan benar saja disana berdiri seorang namja dengan jubah putih yang menunjukkan dirinya seorang dokter. “Molla.” Jawabku dengan ekspesi wajah yang tetap dingin. “Kau Kim Yoora bukan? Kenalkan aku Jung Hye Joong, tapi kau cukup memanggilku dengan Dokter Jung saja.”
Ia mengedarkan tatapannya keseluruh sudut ruangan ini, matanya berhenti pada satu titik. Aku tahu dia memperhatikan isi nampan yang tidak kusentuh itu, “Kenapa kau tidak makan? Itu tidak baik untuk kesehatanmu.” Kata dokter itu ramah. Aku tidak tertarik pada perbincangan ini, aku mengalihkan pandanganku dan lebih memilih melihat butiran-butiran salju yang turun dari langit. Aku sadar Ia tengah menatapku, “Kau itu seperti salju.” Katanya, spontan membuatku menoleh padanya. “Mian?” tanyaku lirih, “Sikapmu itu sedingin salju, tapi jauh di lubuk hatimu kau lebih rapuh dari sebutir salju itu.” Katanya tanpa menatapku. ‘Enak saja dia mengatakan aku rapuh!’ Batinku tak terima. Baru aku akan membuka mulut, Dokter itu langsung pergi dari kamarku.
“Dokter gila! Baru saja masuk ke kamarku seenaknya saja menceramahiku seperti itu!” Aku marah-marah sendiri. Tapi tak lama, mataku terasa berat dan langsung terpejam.
Pukul 15.00, aku terbangun. Entah kenapa aku sangat ingin menyentuh salju itu. Aku turun dari ranjangku dan berjalan menuju jendela. Aku membuka jendela itu,  “Dingin.” Kataku lirih. Aku menjulurkan tanganku keluar jendela, aku tersenyum gembira. Senyum yang telah hilang semenjak aku ada di rumah sakit ini, entah meng-apa senyum ini muncul lagi.
“Kau cantik. Sangat cantik dengan senyuman itu.” Kata seseorang yang membuat senyumku hilang dan menoleh kearahnya. “Ada apa kau kemari Dokter Jung?” Tanyaku tidak bersahabat. Dia menyunggingkan senyumnya, “Aku dokter pribadimu, jadi sudah kewajibanku menjengukmu setiap saat.” Jawabnya tenang sambil berjalan mendekatiku. “Termasuk berkomentar tentang fisik pasienmu?” tanyaku sinis saat dia sudah di depanku. “Aku hanya berbicara jujur.” Katanya sambil menundukkan kepalanya mendekat ke kepalaku. Aku yakin pipiku sudah berubah dari putih menjadi merah. Aku memejamkan mata sambil menundukkan kepalaku. “Tetaplah tersenyum seperti itu.” Katanya lalu pergi meninggalkanku yang masih terpaku mendengar ucapannya tadi. Tak terasa senyumku kembali mengembang dan aku kembali menjulurkan tanganku keluar jendela, “Gomawo Snow.” Kataku berbisik.









Chapter III : 1000 Burung Origami Untukku
Sore hari setelah aku selesai merasakan dinginnya salju walaupun hanya lewat tanganku, aku duduk di tempat tidur sambil menatap keluar jendela. Tetapi kini bukan tatapan kosong. Aku memperhatikan anak-anak yang tengah bermain di bawah butiran-butiran salju yang turun dari langit. Sampai seorang suster membuka pintu kamarku.
“Halo.. Kau sudah bertemu dengan Dokter Jung?” Tanya suster itu ramah. Aku mengangguk perlahan. “Bagaimana pendapatmu tentangnya?” Kata suster itu dengan senyum menggoda yang penuh arti. Aku tidak berminat membicarakan itu, aku diam dan memalingkan wajahku melihat salju itu lagi.
“Makanlah..” Suster itu membawakanku nampan yang lengkap dengan makanan. Suster itu keluar dengan senyum tetap tersungging di bibirnya. ‘Suster itu tidak lelah tersenyum padaku.. ‘Wae?’ Batinku. Tapi, aku langsung melihat makanan yang dibawakannya. Aku ambil sendoknya dan melahapnya, “Tidak buruk..” Kataku. Aku pun menghabiskannya, ini menjadi makanan pertama yang kucicipi di rumah sakit ini
Satu jam setelah suster itu membawakanku makanan, Ia kembali lagi untuk mlihat nampanku. Aku melihat ekspresi terkejutnya, sangat lucu sampai aku tak bisa menahan untuk tidak tertawa, walaupun hanya senyum yang terlihat di bibirku.
“Apa kau sudah mendapat semangat hidupmu lagi, Yoora?” Tanya suster itu yang tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya karena melihatku mau makan dengan baik. Aku tersenyum tapi tidak menjawab pertanyaan itu. Aku bingung, apakah aku benar-benar akan memiliki semangat hidup lagi atau tidak. “Tetaplah seperti itu.” Kata suster itu tersenyum  dan berjalan meninggalkanku di kamar.
Sekitar 20 menit kemudian, Dokter Jung datang. “Halo. Aku dengar kau sudah mulai makan ne?” Tanyanya dengan senyum mengembang, seolah mengatakan Ia telah berhasil membujukku untuk makan. Aku tersipu dan hanya tersenyum malu, tapi itu hanya beberapa saat sampai aku terbuai lagi dengan salju itu. Dokter Jung melihatku dan berkata, “Ini masih musim salju. Jika sudah berganti akan ku ajak kau pergi ke luar. Kau tidak boleh keluar selagi ada hujan salju seperti ini Kim Yoora.” Kata Dokter sambil membelai kepalaku. Aku menunduk malu dan berusaha menyembunyikan wajahku yang merona merah.
Aku lihat Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. “Hei. Coba lihat aku bawa apa?” Katanya dengan senyum penuh misteri. Aku langsung melihat ke arah tangannya, kertas lipat! Itulah yang dia ambil dari saku jasnya. Aku mengernyitkan dahiku, “Untuk apa?” Tanyaku dengan wajah yang polos. “Ini untuk membuat origami. Kau tahu? Seni melipat kertas dari jepang.” Katanya menjelaskan padaku. Aku hanya membulatkan mulutku tanda aku mengerti.
Ia menarik kursi di sebelahku lalu duduk. “Ayo kita membuat origami.” Katanya lalu menarik tanganku. Dia memberikan contoh membuat burung padaku, “Ini dilipat kesini. Lalu masukkan dan lipat sperti ini.” Aku tersenyum. Sebenarnya aku bisa membuat origami ini, tapi aku merasa senang ketika Dokter Jung menjelaskan padaku. Akhirnya aku hanya tersenyum manis saat dia menjelaskan padaku cara membuat origami itu. Dia yang melihatku tersenyum, tiba-tiba wajahnya langsung memerah. Ia langsung menyerahkan kertas itu padaku dan kami membuatnya bersama-sama.
Burung origami buatan kami sudah mencapai 200 buah dan kami sudah melakukan ini selama 1 jam. “Dokter aku lelah.” Kataku menyadarkannya dari keseriusannya membut burung yang ke-201. Ia berhenti dan menatapku, “Maaf aku lupa kau juga perlu istirahat.” Aku menatapnya dan bertanya, “Untuk apa kita membuat burung ini?” “Untuk kesembuhanmu.” Jawabnya tenang. Aku menatapnya, “Kau tahu legenda 1000 burung bangau yang bisa menyembuhkan penyakit apapun itu?” Aku mengangguk, “Ini kubuat untuk menyembuhkanmu dari penyakit itu.” Lanjutnya. Seketika tawaku meledak, “Ha ha ha… Dokter kau percaya dengan itu semua?” Tanyaku yang tak bisa mengendalikan tawaku.
Aku masih tertawa saat dia mulai menjelaskan maksud ucapannya itu. Tapi itu tidak cukup untuk menghentikan tawaku. Tawaku baru bisa berhenti ketika aku merasakan ada benda kenyal yang menempel didahiku. Bibirnya! Ya bibirnya menempel didahiku. Aku kaget sampai tidak sadar kalau ciuman tadi telah berakhir.
Ia meninggalkanku yang masih belum sadar dengan ciuman tadi. Setelah beberapa saat tanganku mulai menyentuh dahiku yang tadi diciumnya. Aku jadi tersenyum sendiri karenanya.






Chapter IV : Dokter.. Aku Menyukainya
Sejak hari itu, aku dan dokter menjadi sangat akrab. Kami sering melanjutkan membuat origami bersama di sela waktu istirahatku. Itu membuat aku ingin musim salju ini cepat berganti. Padahal dulu aku sangat menyukai musim ini.
“Tok tok tok..”
Suster mengetuk pintu kamarku dan membawakan makan siang untukku. “Sepertinya kau sudah mulai akrab dengan Dokter Jung. Yak, ceritakan padaku apa yang terjadi antara kalian huh?” Tanya suster itu, yang lebih tepatnya mengintrogasiku. Wajahku merah seketika, “Err… Tidak terjadi apa-apa.” Kataku menegaskan. Suster itu menunjuk wajahku, “Ha ha ha… Wajahmu merah sekali.” Aku yang mendengarnya hanya tersenyum malu. “Kemarikan nampan itu suster. Aku sudah lapar.” Kataku meminta. Ia memberikan makanan yang dibawanya untukku dan meninggalkan kamarku sambil tersenyum menggoda
Aku yang mulai melahap isi nampan itu kembali berpikir. ‘Ciuman itu, apa hanya aku yang merasa berdebar ketika itu terjadi?’ Aku langsung menepis pikiran itu dan hanya terfokus pada makanan di hadapanku.
‘Sreeg…”
Suara pintu yang terbuka membuatku menoleh ke arah pintu itu. Senyumku mengembang ketika tahu siapa yang membuka pintu. Dokter Jung membawa alat-alat dokternya untuk memeriksaku, tak lupa Ia juga membawa kertas origami. “Yak. Keadaanmu sudah mulai membaik.” Ia hanya tersenyum simpul. Aku balas tersenyum, “Apakah kita akan membuat sisa 200 ekor burung dari origami lagi?” Tanyaku antusias. “Tentu saja!” Jawabnya pasti.
Ia mengeluarkan kertasnya dan memberikan kepadaku sebagian. Aku mulai membuatnya, tapi tidak dengan dokter jung. Ia menatapku seperti menatap kekasihnya sendiri. Itu membuatku salah tingkah dan menghentikan kegiatanku melipat kertas, “Ada apa dokter?” Tanyaku. Ia hanya menggelengkan kepalanya,”Saranghae!” katanya tegas membuat jantungku berdegub kencang.
Dokter Jung menaruh kertas bagiannya. Wajahnya mendekat ke arah wajahku yang merah merona karena malu. Aku hanya bisa menutup mata ketika tidak ada lagi jarak yang memisahkan bibirnya dengan dahiku. Ia menciumku untuk yang kedua kalinya. Biarpun begitu, aku tidak bisa menghentikan debaran jantungku yang semakin cepat.
Setelah ia melepaskan bibirnya dari dahiku, ia langsung mengambil kertasnya dan melipatnya dengan cepat. Aku yang hanya melihatnya melipat kertas langsung kembali ke dunia nyata. Aku tersenyum melihatnya berusaha tidak memikirkan ciuman kami tadi, “Na do saranghae.” Kataku yang kuteruskan dengan melipat kertas lagi. Biarpun Dokter Jung terlihat serius, tapi aku tahu ada semburat merah di pipinya yang putih itu.
2 jam kemudian, 1000 burung origami kami telah selesai. Aku terlihat takjub, dan tak lepas menatap hasil karyaku dan Dokter Jung. “Besok tinggal kita rangkai.” Katanya membuyarkan lamunanku. “Terima kasih Dokter.” Kataku dengan senyum manisku, Ia juga tersenyum dan mulai melangkah keluar.
Sepeninggal Dokter Jung, aku menatap keluar jndela, ‘salju. Apa kau tahu perasaanku sekarang?’ batinku.  “Salju, cepatlah berganti. Aku ingin keluar dengan Dokter Jung. Aku tahu kau pasti mengerti.” Kataku sambil tertawa geli. Ya bagaimanapun, aku merasa sperti orang gila yang berbicara dengan salju.
















Chapter V : Tuhan Berikan Aku Hidup Lebih Lama
“APA?! Tapi itu tidak mungkin senior! Ini pasti terjadi salah pemeriksaan!” teriak Dokter Jung di ruang laboratorium. “Tidak ada kesalahan di sini Dokter Jung! Organ dalam tubuhnya memang mengalami kerusakan.” Kata dokter senior itu yang memberi hasil tesnya. “Tapi, Ia tampak sehat senior!” Kata Dokter Jung dengan argument yang masuk akal, “Ia juga mulai menjaga kesehatannya.” Lanjutnya lagi. “Memang sepertinya ia sehat. Tapi, tunggu dan lihatlah. Ia akan mulai mengalami gejala-gejala sperti muntah, sakit di bagian lambung, bahkan yang terparah Ia akan muntah darah, sesak dan mimisan.”Kata dokter senior itu melanjutkan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi Dokter Jung keluar dan membanting pintu dengan keras.
Dokter Jung mengunjungi kamar Yoora. Tapi sebelumnya ia hanya mengintip Yoora yang tengah tertidur, akhirnya Ia memutuskan untuk masuk. Dokter Jung duduk di sebelah Yoora yang tertidur nyenyak. Wajahnya terlihat lelah dan sangat tenang. Ia mengelus pipi putih nan lembut milik yoora. Sesekali Dokter Jung tersenyum miris melihat wajah tenang dan tak berdosa milik Yoora. “Maafkan aku Yoora. Aku tak bisa menyelamatkanmu. Aku memang orang bodoh. Kenapa aku mencintaimu saat cinta ini tak bisa bertahan lebih lama di tengah derasnya salju.” Tanpa sadar Dokter Jung menangis. Ia memutuskan untuk keluar sebelum benar-benar membangunkan Yoora.
Yoora yang mendengar suara pintu tertutup pun sadar dari tidurnya. Samar-samar ia melihat bayangan jas Dokter Jung. Yoora terduduk dan berpikir, ‘Kenapa Dokter Jung tidak membangunkanku saja?’
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang terganggu karena cahaya matahari yang memaksa masuk ke kamarku. Suster masuk ke kamarku. Entah kenapa wajahnya tidak mengukir senyumannya yang biasanya menyejukkan hatiku. Ia menaruh nampannya di depanku dan tersenyum pilu. Aku bingung menatapnya, tapi suster itu malah pergi meninggalkanku.
Beberapa saat setelah aku menghabiskan makananku, tiba-tiba saja aku mual. Aku berjalan menuju kamar mandi dan memumtahkan semua isi perutku, tidak hanya itu perutku terasa perih sekali. Aku keluar dari kamar mandi, ‘Kenapa aku ini? Aneh, tidak biasanya aku begini.’ Aku yang masih menimbang- nimbang apa yang terjadi padaku disadarkan oleh kedatangan Dokter Jung. Dengan cepat Ia menghampiri tem-patku berbaring dan mulai memeriksaku. Dia selesai dengan memeriksaku, lalu menatapku nanar. “Kau baik-baik saja?” Tanyanya dengan suara parau. “Ne. Waeyo dengan tubuhku ini Dokter?” Tanyaku, tapi hanya dibalas dengan gelengan pelan darinya, “Kau tidak apa-apa. Istirahatlah, aku akan membawakan rangkaian burung origami itu untukmu.”
Dia baru akan berjalan keluar, tapi seolah tidak rela kutarik tangannya. “Jangan pergi! Temani aku di sini.” Aku tak tau kenapa tiba-tiba perasaan itu datang. Aku seperti orang ketakutan. Aku merasa ada yang aneh dalam diriku sekarang. Dokter Jung menatapku dengan tatapan sayu, “Baiklah. Sekarang pejamkan matamu.” Ia tersenyum lembut.
Aku merasa ada yang aneh terjadi dalam diriku dibalik ketenangan tidurku. Akhirnya aku terbangun, aku menyentuh hidungku yang sepertinya basah padahal aku tidak sedang flu. Kuangkat tanganku dari hidungku, darah! Waeyo? Tidak terasa bulir-bulir air mata jatuh dari kedua kelopak mataku.
“Sreeg..”
Suster membukan pintu dan membawakanku makanan. Ia agak terkejut melihat darah segar mengalir dari hidungku. Dengan sigap ia mengambil tissue dan membantuku membersihkan darah di hidungku. “Nona Kim Yoora, sepertinya sekarang saya harus membawa anda ke laboratorium untuk di tes lebih lanjut.” Katanya sambil menghela nafas berat. Ia pun menaikkanku ke kursi roda dan membawaku ke ruang laboratorium. Sejujurnya aku sangat membenci ruangan ini, karena bau obatnya sangat menyengat hidungku.
Setelah menjalani beberapa pemeriksaan, aku berhadapan dengan dokter Lee. Dokter Lee adalah dokter yang bertanggung jawab atas laboratorium ini. Aku melihatnya menarik nafas berkali-kali. “Berhentilah melakukan itu! Aku ingin cepat keluar dari ruangan ini.” Kataku yang sukses membuatnya menghentikan aktivitas anehnya itu. Ia menatapku, “Kau sudah siap mendengar penjelasanku? Jangan terlalu terkejut ne?” Aku menganggung cepat, “Nona, organ-organ tubuhmu sudah mencapai tahap kerusakan maksimal. Kami tidak tahu harus membantumu dengan cara apa lagi.” Katanya tenang tapi tegas. Aku membelalakkan mataku, “Tidak! Itu tidak mungkin dokter! Aku sehat-sehat saja!” Entah mengapa aku mulai menangis. Akhirnya suster membawaku kembali ke kamarku.
Di kamar, aku tak berhenti menangis. Sampai Dokter Jung datang, Ia menatapku iba. “Dokter! Aku tidak akan mati kan? Aku akan selalu ada disisimu kan?” kataku memberinya pertanyaan bertubi-tubi. Entah mengapa aku yang dulu senang sekali mengetahui aku akan mati, sekarang berubah dengan ketakutanku akan kematian. Dokter Jung membelai rambutku dan memelukku seakan memberikanku ketenangan. Tapi aku tetap menangis dalam pelukannya. Sampai aku tertidur karena terlalu lelah menangis.
Aku bermimpi, dibawah guyuran hujan salju aku terduduk dan menangis. Aku melihat sosok yang belum pernah kutemui dihidupku. “Apa kau tuhan?” Tanyaku sambil menyeka air mataku. Sosok itu hanya tersenyum dan mengangguk. “Tuhan! Aku mohon, berikan kehidupan itu lagi padaku! Aku ingin hidup lebih lama. Aku mohon Tuhan. berikan aku hidup lebih lama lagi! Aku tak siap meninggalkan semuanya.” Tangisku pecah sambil menyembahnya. “Maaf.” Kata sosok itu, aku mendongakkan kepalaku menatapnya. Ia mulai menjauh dari pandanganku, “Tidak! Jangan pergi!” aku bangun dan berusaha mengejarnya. “Tuhan!! Aku mohon berikan aku hidup lebih lama lagi!”
Aku tersandung dan terjatuh. Aku menangis meraung-raung memohon pada-Nya. “Tuhan. Aku mohon jangan ambil nyawaku.” Aku tetap menangis, sampai aku tersadar dari mimpiku.
Aku mual lagi, padahal aku tidak memakan apapun. Aku berjalan ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutku yang masih tersisa. Sambil sedikit terbatuk-batuk, aku melihat darah di telapak tanganku. “AARRGGHHH!!!” Teriakku frustasi, aku menangis lagi sambil mendudukkan badanku di kamar mandi. “Apa aku memang tak bisa hidup lebih lama lagi?” Tanyaku dengan senyum sinis tersungging di bibirku.














Chapter VI : Still Hug My Body Until Ending of My Life
Sudah seminggu dari hari dimana aku dinyatakan tidak akan bisa hidup lebih lama lagi. Aku sudah lelah berusaha untuk sembuh. Sekarang aku hanya pasrah akan takdirku. Pernah aku berpikir kalau tuhan tidak adil terhadapku, tapi segera kutepis pikiran-pikiran itu.
Dokter Jung sedari tadi menemaniku, Ia memasang 1000 burung origami itu di langit-langit ruanganku. Aku yang sejak tadi memandang wajah tampannya itu mulai mengamati setiap lekukkan yang terukir di wajahnya. Kulitnya yang putih mulus, matanya yang sipit namun memiliki bola mata yang hitam penuh, hidungnya mancung, bibirnya yang merah penuh, dan rambutnya yang berwarna agak pirang  serta poni yang menutup dahinya membuatnya sempurna di mata semua gadis.
Dokter jung meraih tanganku dan menciumnya agak lama. Aku tersenyum, “Yak Dokter! Kenapa wajahmu seprti itu? Bagaimana caramu memberiku semangat hidup jika kau tidak semangat?” kataku dengan senyum meremehkan. Dokter Jung menatapku, “Begitukah caramu menghibur orang?” Nada bicaranya terdengar kesal.
Ia melepas tanganku seolah ingin pergi. Aku menarik tangannya lagi. “Kumohon, jangan pergi. jangan lepaskan tanganku lagi. Aku takut.” Tak terasa tanganku bergetar. Dokter Jung yang menyadari itu langsung memelukku dan menenangkanku. “Tenanglah. Aku akan selalu disampingmu.” Entah mengapa kata-kata itu seolah memberiku kekuatan baru. Dokter Jung menatapku dan mengecup bibirku sebentar.
Tiba-tiba sakit itu kembali menyeruak masuk ke dalam organ tubuhku. Aku meringgis kesakitan di daerah perutku. Tidak hanya itu, aku mulai batuk darah dan mimisan semuanya dilengkapi dengan nafasku yang tersenggal-sengal. Aku yakin pasti wajahku sudah tidak karuan sekarang. Dokter jung terlihat panik, ia membunyikan bel dan memanggil beberapa suster untuk membantunya.
Selang beberapa menit, suster-suster itu datang sambil membawa tabung oksigen serta beberapa peralatan yang diperlukan. Mereka dengan sigap menghentikan pendarahanku lalu memasangkan tabung oksigen. Dokter jung mengambil jarum suntik dan menyuntikkan obat penghilang rasa sakit padaku. Lama-kelamaan rasa sakit itu pun hilang, dan nafasku mulai teratur lagi. Aku melihat dokter jung yang bernafas lega dan segera menyeka keringatnya. Aku menggenggam tangannya dan tersenyum. “Terima kasih.” Mungkin ucapanku terdengar seperti de-sahan, tapi ia tersenyum dan meneteskan air matanya.
Sejak kejadian itu, Dokter Jung tidak pernah meninggalkan kamarku. Ia selalu ada untuk memantau keadaanku. Aku yang tidak nyaman dengan tatapannya langsung menghadapnya, “Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu Dokter Jung?” Kataku yang membuatnya tersenyum. “Yak. Apa kau tahu? Besok kita sudah memasuki musim semi?” Tanyanya. Aku mengangguk, “Waeyo?” Tanyaku lagi. Ia menghembuskan nafasnya, “Sebenarnya penyakitmu itu lupa ingatan ya? Kau tidak ingat janjiku?” Tanyanya. Wajahku langsung sumringah, “Kau besok akan mengajakku keluar? Benarkah? Aku jadi tidak sabar.” Ia yang melihatku sangat senang hanya tertawa kecil.
Malam harinya, aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Rasanya aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Tapi tubuhku tak mau mendengarkanku. ‘tuhan, kumohon izinkan aku menatap hari esok. Hanya hari esok saja.’ Batinku memohon. Tanpa terasa air mataku mengalir lagi, sampai aku tertidur tak kuat menahan sakitku. Tapi sejujurnya aku tak bisa tertidur. Aku ketakutan dibayangi oleh kematian di depan mata. Dalam hatiku aku terus memohon, ‘Tuhan, beri aku kekuatan untuk menahan penyakit ini. 2 hari. Tidak, besok pun aku bersedia. Asalkan aku bisa bersamanya un-tuk sebentar saja.’ Perlahan-lahan aku tertidur nyenyak.
Besoknya, aku mengerjapkan mataku. Aku gembira. Sangat gembira, tenyata tuhan masih mau mendengarkan hambanya. Sakitku hilang seketika saat Dokter Jung masuk ke ruanganku sambil membawa sebuket bunga mawar putih. “Selamat pagi Princess Yoora. Apakah kau siap berjalan-jalan bersamaku?” Tanyanya dengan senyum menggoda, “Tentu!” Jawabku cepat. Dokter Jung membantuku berdiri, ia memapahku sampai di taman rumah sakit.
Aku menghirup udara musim semi yang sangat menyejukkan. Sama seperti sejuknya hatiku yang sedang berada di dekat dokter jung. Aku menatap sebuah pohon yang cukup besar, dimana waktu musim salju pohon ini menjadi tempat bermain anak-anak. Aku mendekat ke pohon itu dan menyentuhnya.
Seperti ada batu yang jatuh di atas dadaku, aku terjatuh sambil memegang dadaku. Aku tahu, darah sudah mengalir dari hidung dan sudut bibirku. Aku mendengar suara langkah Dokter Jung. Ia berlari menghampiriku dan meletakkan kepalaku dalam dekapannya. Ketika ia akan mebawaku kembali ke kamar, aku menahannya. “He-hentikan! Ja-jangan.. membawaku.. ke-kembali.. ke ka-kamar itu…” Kataku terputus-putus. “Yak! Pabo! Badanmu sudah lemah begini! Kau harus mendapatkan perawatan.” Kata Dokter Jung menitikkan air mata. “Ani-Aniya! Te-tetaplah… di sini.. a-aku tahu.. se-seka..rang .. waktu..ku… su-sudah tiba..” Aku menarik nafas panjang yang sangat berat menurutku.
Tidak! Aku harus mengungkapkannya untuk yang terakhir, ‘Tuhan berikan aku kekuatan. Sedikit saja, hanya sedikit.’ Aku membuka mulutku, “Go.. map…sida.. Dok…ter Jung. Ma-maaf te..lah ba-banyak.. me-merepot..kanmu.. sa-saranghaeyo Jung Hae Joong..” Kata-kata terakhirku, sekaligus penghantarku ke dunia sana. “Na do Saranghaeyo Kim Yoora!” Tangis Dokter Jung pecah menghantar jiwaku ke hadapan Tuhan.





















Epilog
1 tahun kemudian.
Seorang namja membawa sebuket mawar putih dan meletakkannya di atas kuburan yang bertuliskan ‘KIM YOORA’. Namja itu tersenyum, “Yak. Apa kabar chagya? Apa kau sudah menemukan penggantiku? Aku harap kau baik-baik saja di sana.” Namja itu menghela nafas, “Yak! Bantulah aku di sini mencari penggantimu. Kau selalu membuatku membayangkanmu. Itu mengganggu tau.” Lanjutnya sambil tertawa kecil.
Ketika namja itu berbalik, dirasakannya ada sebuah tangan menggenggam tangannya. Namja itu memutar badannya dan menemukan sosok yang telah menghilang dari bumi setahun yang lalu. Sosok itu tersenyum dan menggerakkan bibirnya yang pucat, ‘berjuanglah!’ bisiknya lalu menghilang bersama angin yang berhembus. Namja itu tersenyum, “Tak akan ada yang bisa menggantikanmu di sini Kim Yoora” Ucap namja itu memegang dadanya.
~@ THE END @~












Kim Yoora, gadis sebatang kara yang mengidap penyakit Magh Kronis yang semakin parah setiap harinya bertemu dengan seorang Dokter yang telah membuat hari-harinya jadi lebih hidup. Ia pun berjuang untuk melawan penyakitnya kini dengan di damping oleh Dokter Jung Hae Joong. Bagaimanakah hari-hari Kim Yoora untuk melawan penyakitnya? Berhasilkah Kim Yoora bebas dari penyakitnya dan hidup bahagia dengan Dokter Jung Hae Joong?
Follow Twitter Penulis : @rani_SS


0 komentar:

Posting Komentar