Kata Penghantar
Annyong! Chonun
Rani imnida. Mau mempersembahkan novel pertama saya. Gomawo readers sudah mau
baca. Mianhe ne kalau belum sesuai keinginan readers.
Puji dan syukur
saya Panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan novel pertama ini yang diberikan judul
“Like a Love That Growth in the Snow”. Terima kasih juga kepada Umma saya yang
sudah membantu dalam pengerjaan novel ini.
Novel ini
dipersembahkan penulis untuk para remaja pecinta novel di Tanah Air. Novel ini
menggunakan tokoh karangan penulis yang asal tokohnya dari Korea menyesuaikan
dengan trend remaja masa kini. Dengan sedikit sentuhan romantisme yang
diharapkan sesuai dengan kepribadian kaum remaja Indonesia.
Baiklah selamat
membaca novel pertama dari penulis. Semoga bisa memberikan sebuah kesenangan
tersendiri bagi para pembaca novel saya ini. Gomawo ^^ khamsahamnida
Rani Pradnya Swari
Prolog
“Yak!! Kau anak tak tau diri! Aku
yang telah memungutmu, tapi kau tidak sedikit pun membalas kebaikanku! Sekarang
pergi kau dari rumahku!” Bentak seorang wanita tua kepada gadis di hadapannya.
Dengan air mata yang menggenang dan siap untuk meluncur kepipi putih nan mulus
itu, si gadis melangkahkan kakinya keluar.
“Aku harus
kuat! Aku tak boleh menangis hanya karena hal seperti ini!” Gadis itu mencoba
tegar dengan suara bergetar. Belum seberapa jauh kaki kecil si gadis itu
melangkah, badannya terhuyung, gadis mungil itu pingsan. Beberapa orang yang
lewat langsung mengerubuninya, “Hei! Siapa anak ini?” “Tidak tahu, kasian
sekali dia pingsan di jalan.” “Cepat telepon ambulan!” Perintah salah seorang
warga. Tak berselang lama, Ambulan pun datang.
Chapter I : Penyakit Itu Mulai Muncul
Aku
mengerjapkan mataku berulang kali sampai mata ini bisa bersesuai dengan ruangan
di sekitarku. ‘Ini pasti rumah sakit’ Batinku. Tak berselang lama seorang
suster masuk dan tersenyum padaku, “Selamat pagi. Kau sudah siuman? Syukurlah.”
Katanya sembari mendekatiku. Aku terdiam menatapnya, dan dengan segera
kududukkan badanku. “Wahh.. Kau sudah bisa duduk? Ini kemajuan pesat.” Katanya
ramah dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Aku tetap terdiam tanpa
memberi respon. “Aku akan memanggilkan dokter untukmu. Kau tunggulah disini
beberapa saat!” Perintahnya, dan kemudian Ia telah hilang ditelan pintu itu.
Aku
melihat keluar jendela, tetapi suara pintu yang perlahan terbuka membuatku
menoleh ke pintu. Aku melihat suster itu berjalan di belakang Dokter yang
membawa alat-alat untuk memeriksa keadaanku. “Mianhe, tapi aku harus memeriksa
keadaanmu.” Kata dokter yang kutaksir usianya sekitar 40-50 tahun itu. Kemudian
dokter itu bertanya “Siapa namamu?” “Yoora.. Kim Yoora.” Aku mengatakannya
singkat. Dokter itu tersenyum dan menyuruh suster untuk mencatat namaku.
“Baiklah Yoora, cukup pemeriksaannya untuk hari ini.” Kata dokter itu lalu
pergi bersama suster itu.
Aku
melihat ke luar jendela lagi, ‘Sebenarnya apa ya penyakitku? Ahh Yoora pabo!
Kau lupa menanyakan hal penting itu.’ Omelku dalam hati. Setelah beberapa menit
melihat keluar jendela, kuputuskan untuk beristirahat sejenak.
“Tok..
tok.. tok..”
Aku
membuka mataku perlahan, menoleh kearah pintu dan menemukan sosok dengan jubah
putih dan Stetoskop melingkar di lehernya. Ya, dia dokter yang memeriksaku.
“Apa penyakitku?” Aku langsung bertanya setelah melihat dokter itu mulai
menyuntikkan obat pada infusku. Dia melihat ke arahku dan menjawabnya dengan
senyum kecut, “Kau tidak apa-apa. Hanya perlu istirhat sebentar.” Aku yakin dia
berbohong, “Nan gwenchana, katakan saja penyakitku.” Kataku datar. Ia menghela
nafas panjang sebelum mengatakan penyakitku, “Magh kronis.” Jawab dokter
singkat. Aku sebenarnya terkejut, sangat terkejut dengan penyakit yang kuderita
ini, “Ohh…” Jawabku singkat pada Dokter. Aku yakin Dokter itu mengetahui
perasaanku sekarang ini, biarpun aku tidak menunjukkannya. Aku memalingkan
kepalaku kearah jendela dan menghirup nafas panjang untuk menghentikan semua
emosiku.
Setelah dokter itu
keluar, aku merenungi nasibku. ‘Ibu, Ayah.. Apakah kalian tidak tega melihatku
hidup menderita di dunia ini? Kalian ingin mengajakku pergi bersama kalian.
Terima kasih ibu, ayah.’
Aku
kembali melihat kearah luar jendela. Disana butiran salju mulai turun
membanjiri bumi. Aku terus menatap salju itu yang perlahan-lahan meleleh,
sampai terdengar seseorang membuka kamarku sembari membawa nampan yang berisi
makanan. “Annyong. Bagaimana kabarmu? Aku membawakan makanan untukmu.” Kata
suster itu tetap dengan senyum manisnya. ‘Untuk apa dia membawakanku makanan?
Padahal aku akan mati!’ Pikirku menatap sinis makanan ini. “Selamat makan.”
Kata suster itu sambil berjalan meninggalkan ruanganku. Aku menatap makanan itu
tanpa menyentuhnya sedikitpun. Akhirnya aku memilih tidur untuk menenangkan
diri.
Esoknya
aku terbangun sambil meringgis kecil memegangi lambungku yang tak terisi sejak
kemarin. Aku mencoba mengendalikan rasa sakit itu, dan ketika itu juga dokter
beserta suster itu datang dan membawa beberapa peralatan kedokterannya.
Syukurnya aku sudah bisa mengendalikan rasa sakit itu.aku menatap mereka dengan
wajah dingin, membiarkan mereka memeriksaku. ‘Percuma saja’ batinku sinis, ‘Aku
akan mati! Siapa lagi yang bisa menghentikan kematianku?’ hanya kalimat-kalimat
seperti itu yang terlintas di pikiranku.
Dokter
itu melihat nampanku yang masih tertata rapi lngkap dengan makanan yang tadi
dibawakan oleh suster itu. “Kenapa kau tidak memakannya?” Tanya Dokter itu
lembut. “Aku akan mati! Jadi kau tak perlu membawakannya lagi!” Kataku tajam
dengan suara yang dingin. Dokter dan suster itu hanya geleng-geleng kepala.
“Aku akan menyiapkan makan baru untukmu, Yoora.” Kata suster itu ramah sembari
meninggalkan kamarku. Dokter itu menepuk pundakku dan berkata “Masih ada
harapan untukmu Kim Yoora. Gunakan kesempatan itu dengan sebaik mungkin.” Aku
sama sekali tidak mendapat kekuatan dari kata-kata itu. ‘Semua dokter sama
saja!’ Batinku. Lalu Dokter itu pun keluar dari kamarku.
Chapter II : Aku, Dokter, dan Salju
5
hari sudah aku berada di rumah sakit, dan selama itu pula aku tidak menyentuh
makanan yang dibawakan suster kepadaku. Perih sekali rasanya lambungku ini,
tapi itulah caraku untuk mempercepat kematianku.
Suster
itu kembali lagi dengan membawa jarum suntik dan sebotol cairan yang akan
dimasukkan ke dalam tubuhku lewat jarum suntik itu. “Kau benar-benar tidak
makan? Ini sudah 5 hari, dan kau hanya makan sebuah apel!” Kata suster itu
kaget, “Ingat kau menderita Magh! Tidak baik membiarkan perutmu kosong.”
Lanjutnya lagi. Aku menatap dingin kearah suster itu, lalu mengalihkan
pandanganku keluar jendela. Aku mendengar suster itu menghela nafas panjang.
“Baiklah
sudah selesai.” Kata suster itu merapikan alat-alatnya. Ia bersiap pergi, tapi
suster itu berbalik sebentar, “Mulai sekarang kau akan dirawat oleh Dokter
pribadimu. Namanya Dokter Kim Hae Joong. Usia kalian cukup dekat, jadi aku
berharap hubungan kalian juga bisa lebih dekat.” Kata suster itu sambil
tersenyum penuh arti, “Dia juga sangat tampan. Kuharap kau menyukainya.”
Lanjutnya lagi. Aku hanya menatapnya dingin tanpa memberikan respon yang
menyatakan aku tertarik pada dokter itu.
‘Siapa
pun dokternya tak akan pernah membawaku berjalan selain kearah kematian.’
Pikirku sambil tersenyum sinis membayangkan usaha apa saja yang akan dilakukan
dokter itu yang pasti tak jauh berbeda dengan dokter sebelumnya.
Pintu
yang perlahan-lahan terbuka, tidak membuatku ingin mengetahui siapa yang masuk
ke ruanganku. ‘Pasti Suster itu lagi! Ngapain sih sering banget jengukin aku!’
Batinku yang sedikit terusik oleh kedatangan suster itu yang selalu memberikan
motivasi hidup padaku yang menurutku itu percuma.
“Annyong..
Kaukah pasien baruku itu?” Tanya seseorang yang belum pernah kudengar suaranya
itu. Dengan cepat aku menoleh, dan benar saja disana berdiri seorang namja
dengan jubah putih yang menunjukkan dirinya seorang dokter. “Molla.” Jawabku
dengan ekspesi wajah yang tetap dingin. “Kau Kim Yoora bukan? Kenalkan aku Jung
Hye Joong, tapi kau cukup memanggilku dengan Dokter Jung saja.”
Ia
mengedarkan tatapannya keseluruh sudut ruangan ini, matanya berhenti pada satu
titik. Aku tahu dia memperhatikan isi nampan yang tidak kusentuh itu, “Kenapa
kau tidak makan? Itu tidak baik untuk kesehatanmu.” Kata dokter itu ramah. Aku
tidak tertarik pada perbincangan ini, aku mengalihkan pandanganku dan lebih
memilih melihat butiran-butiran salju yang turun dari langit. Aku sadar Ia
tengah menatapku, “Kau itu seperti salju.” Katanya, spontan membuatku menoleh
padanya. “Mian?” tanyaku lirih, “Sikapmu itu sedingin salju, tapi jauh di lubuk
hatimu kau lebih rapuh dari sebutir salju itu.” Katanya tanpa menatapku. ‘Enak
saja dia mengatakan aku rapuh!’ Batinku tak terima. Baru aku akan membuka
mulut, Dokter itu langsung pergi dari kamarku.
“Dokter
gila! Baru saja masuk ke kamarku seenaknya saja menceramahiku seperti itu!” Aku
marah-marah sendiri. Tapi tak lama, mataku terasa berat dan langsung terpejam.
Pukul
15.00, aku terbangun. Entah kenapa aku sangat ingin menyentuh salju itu. Aku
turun dari ranjangku dan berjalan menuju jendela. Aku membuka jendela itu, “Dingin.” Kataku lirih. Aku menjulurkan
tanganku keluar jendela, aku tersenyum gembira. Senyum yang telah hilang
semenjak aku ada di rumah sakit ini, entah meng-apa senyum ini muncul lagi.
“Kau
cantik. Sangat cantik dengan senyuman itu.” Kata seseorang yang membuat
senyumku hilang dan menoleh kearahnya. “Ada apa kau kemari Dokter Jung?”
Tanyaku tidak bersahabat. Dia menyunggingkan senyumnya, “Aku dokter pribadimu,
jadi sudah kewajibanku menjengukmu setiap saat.” Jawabnya tenang sambil
berjalan mendekatiku. “Termasuk berkomentar tentang fisik pasienmu?” tanyaku
sinis saat dia sudah di depanku. “Aku hanya berbicara jujur.” Katanya sambil
menundukkan kepalanya mendekat ke kepalaku. Aku yakin pipiku sudah berubah dari
putih menjadi merah. Aku memejamkan mata sambil menundukkan kepalaku. “Tetaplah
tersenyum seperti itu.” Katanya lalu pergi meninggalkanku yang masih terpaku
mendengar ucapannya tadi. Tak terasa senyumku kembali mengembang dan aku kembali
menjulurkan tanganku keluar jendela, “Gomawo Snow.” Kataku berbisik.
Chapter III : 1000 Burung Origami Untukku
Sore
hari setelah aku selesai merasakan dinginnya salju walaupun hanya lewat
tanganku, aku duduk di tempat tidur sambil menatap keluar jendela. Tetapi kini
bukan tatapan kosong. Aku memperhatikan anak-anak yang tengah bermain di bawah
butiran-butiran salju yang turun dari langit. Sampai seorang suster membuka
pintu kamarku.
“Halo..
Kau sudah bertemu dengan Dokter Jung?” Tanya suster itu ramah. Aku mengangguk
perlahan. “Bagaimana pendapatmu tentangnya?” Kata suster itu dengan senyum
menggoda yang penuh arti. Aku tidak berminat membicarakan itu, aku diam dan
memalingkan wajahku melihat salju itu lagi.
“Makanlah..”
Suster itu membawakanku nampan yang lengkap dengan makanan. Suster itu keluar
dengan senyum tetap tersungging di bibirnya. ‘Suster itu tidak lelah tersenyum
padaku.. ‘Wae?’ Batinku. Tapi, aku langsung melihat makanan yang dibawakannya.
Aku ambil sendoknya dan melahapnya, “Tidak buruk..” Kataku. Aku pun
menghabiskannya, ini menjadi makanan pertama yang kucicipi di rumah sakit ini
Satu
jam setelah suster itu membawakanku makanan, Ia kembali lagi untuk mlihat
nampanku. Aku melihat ekspresi terkejutnya, sangat lucu sampai aku tak bisa
menahan untuk tidak tertawa, walaupun hanya senyum yang terlihat di bibirku.
“Apa
kau sudah mendapat semangat hidupmu lagi, Yoora?” Tanya suster itu yang tidak
dapat menyembunyikan kegembiraannya karena melihatku mau makan dengan baik. Aku
tersenyum tapi tidak menjawab pertanyaan itu. Aku bingung, apakah aku
benar-benar akan memiliki semangat hidup lagi atau tidak. “Tetaplah seperti
itu.” Kata suster itu tersenyum dan
berjalan meninggalkanku di kamar.
Sekitar
20 menit kemudian, Dokter Jung datang. “Halo. Aku dengar kau sudah mulai makan
ne?” Tanyanya dengan senyum mengembang, seolah mengatakan Ia telah berhasil
membujukku untuk makan. Aku tersipu dan hanya tersenyum malu, tapi itu hanya
beberapa saat sampai aku terbuai lagi dengan salju itu. Dokter Jung melihatku
dan berkata, “Ini masih musim salju. Jika sudah berganti akan ku ajak kau pergi
ke luar. Kau tidak boleh keluar selagi ada hujan salju seperti ini Kim Yoora.”
Kata Dokter sambil membelai kepalaku. Aku menunduk malu dan berusaha
menyembunyikan wajahku yang merona merah.
Aku
lihat Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. “Hei. Coba lihat aku bawa apa?”
Katanya dengan senyum penuh misteri. Aku langsung melihat ke arah tangannya,
kertas lipat! Itulah yang dia ambil dari saku jasnya. Aku mengernyitkan dahiku,
“Untuk apa?” Tanyaku dengan wajah yang polos. “Ini untuk membuat origami. Kau
tahu? Seni melipat kertas dari jepang.” Katanya menjelaskan padaku. Aku hanya
membulatkan mulutku tanda aku mengerti.
Ia
menarik kursi di sebelahku lalu duduk. “Ayo kita membuat origami.” Katanya lalu
menarik tanganku. Dia memberikan contoh membuat burung padaku, “Ini dilipat
kesini. Lalu masukkan dan lipat sperti ini.” Aku tersenyum. Sebenarnya aku bisa
membuat origami ini, tapi aku merasa senang ketika Dokter Jung menjelaskan
padaku. Akhirnya aku hanya tersenyum manis saat dia menjelaskan padaku cara
membuat origami itu. Dia yang melihatku tersenyum, tiba-tiba wajahnya langsung
memerah. Ia langsung menyerahkan kertas itu padaku dan kami membuatnya
bersama-sama.
Burung
origami buatan kami sudah mencapai 200 buah dan kami sudah melakukan ini selama
1 jam. “Dokter aku lelah.” Kataku menyadarkannya dari keseriusannya membut
burung yang ke-201. Ia berhenti dan menatapku, “Maaf aku lupa kau juga perlu
istirahat.” Aku menatapnya dan bertanya, “Untuk apa kita membuat burung ini?”
“Untuk kesembuhanmu.” Jawabnya tenang. Aku menatapnya, “Kau tahu legenda 1000
burung bangau yang bisa menyembuhkan penyakit apapun itu?” Aku mengangguk, “Ini
kubuat untuk menyembuhkanmu dari penyakit itu.” Lanjutnya. Seketika tawaku
meledak, “Ha ha ha… Dokter kau percaya dengan itu semua?” Tanyaku yang tak bisa
mengendalikan tawaku.
Aku
masih tertawa saat dia mulai menjelaskan maksud ucapannya itu. Tapi itu tidak
cukup untuk menghentikan tawaku. Tawaku baru bisa berhenti ketika aku merasakan
ada benda kenyal yang menempel didahiku. Bibirnya! Ya bibirnya menempel
didahiku. Aku kaget sampai tidak sadar kalau ciuman tadi telah berakhir.
Ia
meninggalkanku yang masih belum sadar dengan ciuman tadi. Setelah beberapa saat
tanganku mulai menyentuh dahiku yang tadi diciumnya. Aku jadi tersenyum sendiri
karenanya.
Chapter IV : Dokter.. Aku Menyukainya
Sejak
hari itu, aku dan dokter menjadi sangat akrab. Kami sering melanjutkan membuat
origami bersama di sela waktu istirahatku. Itu membuat aku ingin musim salju
ini cepat berganti. Padahal dulu aku sangat menyukai musim ini.
“Tok
tok tok..”
Suster
mengetuk pintu kamarku dan membawakan makan siang untukku. “Sepertinya kau
sudah mulai akrab dengan Dokter Jung. Yak, ceritakan padaku apa yang terjadi
antara kalian huh?” Tanya suster itu, yang lebih tepatnya mengintrogasiku.
Wajahku merah seketika, “Err… Tidak terjadi apa-apa.” Kataku menegaskan. Suster
itu menunjuk wajahku, “Ha ha ha… Wajahmu merah sekali.” Aku yang mendengarnya
hanya tersenyum malu. “Kemarikan nampan itu suster. Aku sudah lapar.” Kataku
meminta. Ia memberikan makanan yang dibawanya untukku dan meninggalkan kamarku
sambil tersenyum menggoda
Aku
yang mulai melahap isi nampan itu kembali berpikir. ‘Ciuman itu, apa hanya aku
yang merasa berdebar ketika itu terjadi?’ Aku langsung menepis pikiran itu dan
hanya terfokus pada makanan di hadapanku.
‘Sreeg…”
Suara
pintu yang terbuka membuatku menoleh ke arah pintu itu. Senyumku mengembang
ketika tahu siapa yang membuka pintu. Dokter Jung membawa alat-alat dokternya
untuk memeriksaku, tak lupa Ia juga membawa kertas origami. “Yak. Keadaanmu
sudah mulai membaik.” Ia hanya tersenyum simpul. Aku balas tersenyum, “Apakah
kita akan membuat sisa 200 ekor burung dari origami lagi?” Tanyaku antusias.
“Tentu saja!” Jawabnya pasti.
Ia
mengeluarkan kertasnya dan memberikan kepadaku sebagian. Aku mulai membuatnya,
tapi tidak dengan dokter jung. Ia menatapku seperti menatap kekasihnya sendiri.
Itu membuatku salah tingkah dan menghentikan kegiatanku melipat kertas, “Ada
apa dokter?” Tanyaku. Ia hanya menggelengkan kepalanya,”Saranghae!” katanya
tegas membuat jantungku berdegub kencang.
Dokter
Jung menaruh kertas bagiannya. Wajahnya mendekat ke arah wajahku yang merah
merona karena malu. Aku hanya bisa menutup mata ketika tidak ada lagi jarak
yang memisahkan bibirnya dengan dahiku. Ia menciumku untuk yang kedua kalinya.
Biarpun begitu, aku tidak bisa menghentikan debaran jantungku yang semakin
cepat.
Setelah ia melepaskan bibirnya
dari dahiku, ia langsung mengambil kertasnya dan melipatnya dengan cepat. Aku
yang hanya melihatnya melipat kertas langsung kembali ke dunia nyata. Aku
tersenyum melihatnya berusaha tidak memikirkan ciuman kami tadi, “Na do
saranghae.” Kataku yang kuteruskan dengan melipat kertas lagi. Biarpun Dokter
Jung terlihat serius, tapi aku tahu ada semburat merah di pipinya yang putih
itu.
2
jam kemudian, 1000 burung origami kami telah selesai. Aku terlihat takjub, dan
tak lepas menatap hasil karyaku dan Dokter Jung. “Besok tinggal kita rangkai.”
Katanya membuyarkan lamunanku. “Terima kasih Dokter.” Kataku dengan senyum
manisku, Ia juga tersenyum dan mulai melangkah keluar.
Sepeninggal
Dokter Jung, aku menatap keluar jndela, ‘salju. Apa kau tahu perasaanku sekarang?’
batinku. “Salju, cepatlah berganti. Aku
ingin keluar dengan Dokter Jung. Aku tahu kau
pasti mengerti.” Kataku sambil tertawa geli. Ya bagaimanapun, aku merasa sperti
orang gila yang berbicara dengan salju.
Chapter V : Tuhan Berikan Aku Hidup Lebih Lama
“APA?!
Tapi itu tidak mungkin senior! Ini pasti terjadi salah pemeriksaan!” teriak
Dokter Jung di ruang laboratorium. “Tidak ada kesalahan di sini Dokter Jung!
Organ dalam tubuhnya memang mengalami kerusakan.” Kata dokter senior itu yang
memberi hasil tesnya. “Tapi, Ia tampak sehat senior!” Kata Dokter Jung dengan
argument yang masuk akal, “Ia juga mulai menjaga kesehatannya.” Lanjutnya lagi.
“Memang sepertinya ia sehat. Tapi, tunggu dan lihatlah. Ia akan mulai mengalami
gejala-gejala sperti muntah, sakit di bagian lambung, bahkan yang terparah Ia
akan muntah darah, sesak dan mimisan.”Kata dokter senior itu melanjutkan. Tanpa
mengatakan apa-apa lagi Dokter Jung keluar dan membanting pintu dengan keras.
Dokter
Jung mengunjungi kamar Yoora. Tapi sebelumnya ia hanya mengintip Yoora yang
tengah tertidur, akhirnya Ia memutuskan untuk masuk. Dokter Jung duduk di
sebelah Yoora yang tertidur nyenyak. Wajahnya terlihat lelah dan sangat tenang.
Ia mengelus pipi putih nan lembut milik yoora. Sesekali Dokter Jung tersenyum
miris melihat wajah tenang dan tak berdosa milik Yoora. “Maafkan aku Yoora. Aku
tak bisa menyelamatkanmu. Aku memang orang bodoh. Kenapa aku mencintaimu saat
cinta ini tak bisa bertahan lebih lama di tengah derasnya salju.” Tanpa sadar
Dokter Jung menangis. Ia memutuskan untuk keluar sebelum benar-benar
membangunkan Yoora.
Yoora
yang mendengar suara pintu tertutup pun sadar dari tidurnya. Samar-samar ia
melihat bayangan jas Dokter Jung. Yoora terduduk dan berpikir, ‘Kenapa Dokter
Jung tidak membangunkanku saja?’
Aku
mengerjap-ngerjapkan mataku yang terganggu karena cahaya matahari yang memaksa
masuk ke kamarku. Suster masuk ke kamarku. Entah kenapa wajahnya tidak mengukir
senyumannya yang biasanya menyejukkan hatiku. Ia menaruh nampannya di depanku
dan tersenyum pilu. Aku bingung menatapnya, tapi suster itu malah pergi
meninggalkanku.
Beberapa
saat setelah aku menghabiskan makananku, tiba-tiba saja aku mual. Aku berjalan menuju
kamar mandi dan memumtahkan semua isi perutku, tidak hanya itu perutku terasa
perih sekali. Aku keluar dari kamar mandi, ‘Kenapa aku ini? Aneh, tidak
biasanya aku begini.’ Aku yang masih menimbang- nimbang apa yang terjadi padaku
disadarkan oleh kedatangan Dokter Jung. Dengan cepat Ia menghampiri tem-patku berbaring
dan mulai memeriksaku. Dia selesai dengan memeriksaku, lalu menatapku nanar.
“Kau baik-baik saja?” Tanyanya dengan suara parau. “Ne. Waeyo dengan tubuhku
ini Dokter?” Tanyaku, tapi hanya dibalas dengan gelengan pelan darinya, “Kau
tidak apa-apa. Istirahatlah, aku akan membawakan rangkaian burung origami itu
untukmu.”
Dia
baru akan berjalan keluar, tapi seolah tidak rela kutarik tangannya. “Jangan
pergi! Temani aku di sini.” Aku tak tau kenapa tiba-tiba perasaan itu datang.
Aku seperti orang ketakutan. Aku merasa ada yang aneh dalam diriku sekarang.
Dokter Jung menatapku dengan tatapan sayu, “Baiklah. Sekarang pejamkan matamu.”
Ia tersenyum lembut.
Aku
merasa ada yang aneh terjadi dalam diriku dibalik ketenangan tidurku. Akhirnya
aku terbangun, aku menyentuh hidungku yang sepertinya basah padahal aku tidak
sedang flu. Kuangkat tanganku dari hidungku, darah! Waeyo? Tidak terasa
bulir-bulir air mata jatuh dari kedua kelopak mataku.
“Sreeg..”
Suster
membukan pintu dan membawakanku makanan. Ia agak terkejut melihat darah segar
mengalir dari hidungku. Dengan sigap ia mengambil tissue dan membantuku
membersihkan darah di hidungku. “Nona Kim Yoora, sepertinya sekarang saya harus
membawa anda ke laboratorium untuk di tes lebih lanjut.” Katanya sambil menghela
nafas berat. Ia pun menaikkanku ke kursi roda dan membawaku ke ruang
laboratorium. Sejujurnya aku sangat membenci ruangan ini, karena bau obatnya
sangat menyengat hidungku.
Setelah
menjalani beberapa pemeriksaan, aku berhadapan dengan dokter Lee. Dokter Lee
adalah dokter yang bertanggung jawab atas laboratorium ini. Aku melihatnya
menarik nafas berkali-kali. “Berhentilah melakukan itu! Aku ingin cepat keluar
dari ruangan ini.” Kataku yang sukses membuatnya menghentikan aktivitas anehnya
itu. Ia menatapku, “Kau sudah siap mendengar penjelasanku? Jangan terlalu
terkejut ne?” Aku menganggung cepat, “Nona, organ-organ tubuhmu sudah mencapai
tahap kerusakan maksimal. Kami tidak tahu harus membantumu dengan cara apa
lagi.” Katanya tenang tapi tegas. Aku membelalakkan mataku, “Tidak! Itu tidak
mungkin dokter! Aku sehat-sehat saja!” Entah mengapa aku mulai menangis.
Akhirnya suster membawaku kembali ke kamarku.
Di
kamar, aku tak berhenti menangis. Sampai Dokter Jung datang, Ia menatapku iba.
“Dokter! Aku tidak akan mati kan? Aku akan selalu ada disisimu kan?” kataku
memberinya pertanyaan bertubi-tubi. Entah mengapa aku yang dulu senang sekali
mengetahui aku akan mati, sekarang berubah dengan ketakutanku akan kematian.
Dokter Jung membelai rambutku dan memelukku seakan memberikanku ketenangan.
Tapi aku tetap menangis dalam pelukannya. Sampai aku tertidur karena terlalu
lelah menangis.
Aku bermimpi, dibawah
guyuran hujan salju aku terduduk dan menangis. Aku melihat sosok yang belum
pernah kutemui dihidupku. “Apa kau tuhan?” Tanyaku sambil menyeka air mataku.
Sosok itu hanya tersenyum dan mengangguk. “Tuhan! Aku mohon, berikan kehidupan
itu lagi padaku! Aku ingin hidup lebih lama. Aku mohon Tuhan. berikan aku hidup
lebih lama lagi! Aku tak siap meninggalkan semuanya.” Tangisku pecah sambil
menyembahnya. “Maaf.” Kata sosok itu, aku mendongakkan kepalaku menatapnya. Ia
mulai menjauh dari pandanganku, “Tidak! Jangan pergi!” aku bangun dan berusaha
mengejarnya. “Tuhan!! Aku mohon berikan aku hidup lebih lama lagi!”
Aku
tersandung dan terjatuh. Aku menangis meraung-raung memohon pada-Nya. “Tuhan.
Aku mohon jangan ambil nyawaku.” Aku tetap menangis, sampai aku tersadar dari
mimpiku.
Aku
mual lagi, padahal aku tidak memakan apapun. Aku berjalan ke kamar mandi dan
memuntahkan isi perutku yang masih tersisa. Sambil sedikit terbatuk-batuk, aku
melihat darah di telapak tanganku. “AARRGGHHH!!!” Teriakku frustasi, aku
menangis lagi sambil mendudukkan badanku di kamar mandi. “Apa aku memang tak
bisa hidup lebih lama lagi?” Tanyaku dengan senyum sinis tersungging di
bibirku.
Chapter VI : Still Hug My Body Until Ending of My Life
Sudah
seminggu dari hari dimana aku dinyatakan tidak akan bisa hidup lebih lama lagi.
Aku sudah lelah berusaha untuk sembuh. Sekarang aku hanya pasrah akan takdirku.
Pernah aku berpikir kalau tuhan tidak adil terhadapku, tapi segera kutepis
pikiran-pikiran itu.
Dokter
Jung sedari tadi menemaniku, Ia memasang 1000 burung origami itu di
langit-langit ruanganku. Aku yang sejak tadi memandang wajah tampannya itu
mulai mengamati setiap lekukkan yang terukir di wajahnya. Kulitnya yang putih
mulus, matanya yang sipit namun memiliki bola mata yang hitam penuh, hidungnya
mancung, bibirnya yang merah penuh, dan rambutnya yang berwarna agak pirang serta poni yang menutup dahinya membuatnya
sempurna di mata semua gadis.
Dokter jung meraih
tanganku dan menciumnya agak lama. Aku tersenyum, “Yak Dokter! Kenapa wajahmu
seprti itu? Bagaimana caramu memberiku semangat hidup jika kau tidak semangat?”
kataku dengan senyum meremehkan. Dokter Jung menatapku, “Begitukah caramu
menghibur orang?” Nada bicaranya terdengar kesal.
Ia
melepas tanganku seolah ingin pergi. Aku menarik tangannya lagi. “Kumohon,
jangan pergi. jangan lepaskan tanganku lagi. Aku takut.” Tak terasa tanganku
bergetar. Dokter Jung yang menyadari itu langsung memelukku dan menenangkanku.
“Tenanglah. Aku akan selalu disampingmu.” Entah mengapa kata-kata itu seolah
memberiku kekuatan baru. Dokter Jung menatapku dan mengecup bibirku sebentar.
Tiba-tiba
sakit itu kembali menyeruak masuk ke dalam organ tubuhku. Aku meringgis
kesakitan di daerah perutku. Tidak hanya itu, aku mulai batuk darah dan mimisan
semuanya dilengkapi dengan nafasku yang tersenggal-sengal. Aku yakin pasti
wajahku sudah tidak karuan sekarang. Dokter jung terlihat panik, ia membunyikan
bel dan memanggil beberapa suster untuk membantunya.
Selang
beberapa menit, suster-suster itu datang sambil membawa tabung oksigen serta
beberapa peralatan yang diperlukan. Mereka dengan sigap menghentikan pendarahanku
lalu memasangkan tabung oksigen. Dokter jung mengambil jarum suntik dan
menyuntikkan obat penghilang rasa sakit padaku. Lama-kelamaan rasa sakit itu
pun hilang, dan nafasku mulai teratur lagi. Aku melihat dokter jung yang
bernafas lega dan segera menyeka keringatnya. Aku menggenggam tangannya dan
tersenyum. “Terima kasih.” Mungkin ucapanku terdengar seperti de-sahan, tapi ia
tersenyum dan meneteskan air matanya.
Sejak kejadian itu,
Dokter Jung tidak pernah meninggalkan kamarku. Ia selalu ada untuk memantau
keadaanku. Aku yang tidak nyaman dengan tatapannya langsung menghadapnya,
“Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu Dokter Jung?” Kataku yang
membuatnya tersenyum. “Yak. Apa kau tahu? Besok kita sudah memasuki musim
semi?” Tanyanya. Aku mengangguk, “Waeyo?” Tanyaku lagi. Ia menghembuskan
nafasnya, “Sebenarnya penyakitmu itu lupa ingatan ya? Kau tidak ingat janjiku?”
Tanyanya. Wajahku langsung sumringah, “Kau besok akan mengajakku keluar?
Benarkah? Aku jadi tidak sabar.” Ia yang melihatku sangat senang hanya tertawa
kecil.
Malam
harinya, aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Rasanya aku ingin menangis
sekencang-kencangnya. Tapi tubuhku tak mau mendengarkanku. ‘tuhan, kumohon
izinkan aku menatap hari esok. Hanya hari esok saja.’ Batinku memohon. Tanpa
terasa air mataku mengalir lagi, sampai aku tertidur tak kuat menahan sakitku.
Tapi sejujurnya aku tak bisa tertidur. Aku ketakutan dibayangi oleh kematian di
depan mata. Dalam hatiku aku terus memohon, ‘Tuhan, beri aku kekuatan untuk
menahan penyakit ini. 2 hari. Tidak, besok pun aku bersedia. Asalkan aku bisa
bersamanya un-tuk sebentar saja.’ Perlahan-lahan aku tertidur nyenyak.
Besoknya,
aku mengerjapkan mataku. Aku gembira. Sangat gembira, tenyata tuhan masih mau
mendengarkan hambanya. Sakitku hilang seketika saat Dokter Jung masuk ke
ruanganku sambil membawa sebuket bunga mawar putih. “Selamat pagi Princess
Yoora. Apakah kau siap berjalan-jalan bersamaku?” Tanyanya dengan senyum
menggoda, “Tentu!” Jawabku cepat. Dokter Jung membantuku berdiri, ia memapahku
sampai di taman rumah sakit.
Aku
menghirup udara musim semi yang sangat menyejukkan. Sama seperti sejuknya
hatiku yang sedang berada di dekat dokter jung. Aku menatap sebuah pohon yang
cukup besar, dimana waktu musim salju pohon ini menjadi tempat bermain
anak-anak. Aku mendekat ke pohon itu dan menyentuhnya.
Seperti ada batu
yang jatuh di atas dadaku, aku terjatuh sambil memegang dadaku. Aku tahu, darah
sudah mengalir dari hidung dan sudut bibirku. Aku mendengar suara langkah
Dokter Jung. Ia berlari menghampiriku dan meletakkan kepalaku dalam dekapannya.
Ketika ia akan mebawaku kembali ke kamar, aku menahannya. “He-hentikan!
Ja-jangan.. membawaku.. ke-kembali.. ke ka-kamar itu…” Kataku terputus-putus.
“Yak! Pabo! Badanmu sudah lemah begini! Kau harus mendapatkan perawatan.” Kata
Dokter Jung menitikkan air mata. “Ani-Aniya! Te-tetaplah… di sini.. a-aku
tahu.. se-seka..rang .. waktu..ku… su-sudah tiba..” Aku menarik nafas panjang
yang sangat berat menurutku.
Tidak! Aku harus
mengungkapkannya untuk yang terakhir, ‘Tuhan berikan aku kekuatan. Sedikit
saja, hanya sedikit.’ Aku membuka mulutku, “Go.. map…sida.. Dok…ter Jung.
Ma-maaf te..lah ba-banyak.. me-merepot..kanmu.. sa-saranghaeyo Jung Hae
Joong..” Kata-kata terakhirku, sekaligus penghantarku ke dunia sana. “Na do
Saranghaeyo Kim Yoora!” Tangis Dokter Jung pecah menghantar jiwaku ke hadapan
Tuhan.
Epilog
1
tahun kemudian.
Seorang
namja membawa sebuket mawar putih dan meletakkannya di atas kuburan yang
bertuliskan ‘KIM YOORA’. Namja itu tersenyum, “Yak. Apa kabar chagya? Apa kau
sudah menemukan penggantiku? Aku harap kau baik-baik saja di sana.” Namja itu
menghela nafas, “Yak! Bantulah aku di sini mencari penggantimu. Kau selalu
membuatku membayangkanmu. Itu mengganggu tau.” Lanjutnya sambil tertawa kecil.
Ketika
namja itu berbalik, dirasakannya ada sebuah tangan menggenggam tangannya. Namja
itu memutar badannya dan menemukan sosok yang telah menghilang dari bumi
setahun yang lalu. Sosok itu tersenyum dan menggerakkan bibirnya yang pucat,
‘berjuanglah!’ bisiknya lalu menghilang bersama angin yang berhembus. Namja itu
tersenyum, “Tak akan ada yang bisa menggantikanmu di sini Kim Yoora” Ucap namja
itu memegang dadanya.
~@ THE END @~
Kim Yoora, gadis sebatang kara yang mengidap penyakit Magh
Kronis yang semakin parah setiap harinya bertemu dengan seorang Dokter yang
telah membuat hari-harinya jadi lebih hidup. Ia pun berjuang untuk melawan
penyakitnya kini dengan di damping oleh Dokter Jung Hae Joong. Bagaimanakah hari-hari
Kim Yoora untuk melawan penyakitnya? Berhasilkah Kim Yoora bebas dari
penyakitnya dan hidup bahagia dengan Dokter Jung Hae Joong?
Follow Twitter
Penulis : @rani_SS